JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang lanjutan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait gugatan atas sistem proporsional terbuka di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam sidang hari ini, MK dijadwalkan mendengarkan keterangan DPR, pemerintah, dan pihak terkait dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dipanggilnya KPU sebagai pihak terkait karena pengujian pasal sistem proporsional terbuka ini akan menentukan kerja penyelenggaraan pemilu.
Wacana terkait sistem pemilihan legislatif ini menjadi ramai setelah Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengomentari adanya gugatan di MK ini, dalam pidato Catatan Akhir Tahun KPU pada 29 Desember 2022 lalu.
Komentar ini lalu ditafsirkan sebagai dukungan dari lembaga penyelenggara pemilu itu terhadap salah satu sistem tertentu. Mayoritas partai politik menolak sistem proporsional tertutup ini, di mana pemilih hanya akan mencoblos gambar partai.
Delapan partai politik di parlemen bahkan berulang kali menggelar jumpa pers menyatakan penolakan mereka. Sementara itu, PDI-P jadi partai politik paling lantang mendukung sistem proporsional tertutup.
Belakangan, beberapa partai lain juga mengemukakan dukungan sejenis, sebut saja Partai Buruh dan PBB. Beberapa partai politik telah mengajukan diri sebagai sebagai pihak terkait dalam gugatan ini ke MK.
Dari kubu yang mendukung sistem proporsional terbuka, ada partai-partai seperti Nasdem, PKS, dan PSI, sedangkan dari kubu sebaliknya ada PBB.
Drama di Komisi II DPR RI
Keputusan MK sangat dinanti karena dianggap bakal mengubah peta kompetisi Pemilu 2024, dengan lanskap partai politik yang masih sangat mengandalkan calon legislatif untuk meraup suara di lapangan. Nuansa politik ini sangat kental terasa dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI, Rabu (11/1/2023).
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sempat keberatan karena diminta menyetujui kesimpulan rapat bahwa pihaknya sepakat dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
Kesimpulan terkait hal ini awalnya dimuat dalam poin 3, yang disodorkan oleh Komisi II. Pada poin 3 kesimpulan rapat itu tertulis bahwa DPR, Mendagri, dan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu sepakat mengacu pada UU Pemilu, termasuk di dalamnya soal sistem proporsional terbuka.
Tito menganggap, narasi ini menggiring opini seakan pemerintah pro terhadap sistem tertentu. Ia menolaknya karena saat ini sedang ada judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sistem proporsional terbuka.
"Kami posisi pemerintah itu menghormati, tidak mau mendahului keputusan MK," kata Tito di hadapan rapat, Rabu malam. Tito merasa bila nama Mendagri ikut dicantumkan dalam poin itu, hal tersebut akan dikesankan sebagai bentuk dukungan pemerintah.
Ia menegaskan posisi pemerintah yang tidak berpolitik dan menghormati lembaga lain yang juga memiliki kewenangan dalam berdemokrasi, dalam hal ini MK.
"Posisi pemerintah menyerahkan kepada MK dan juga kepada DPR. Jadi tidak meng-endorse salah satu, saya kira. Jadi kalau ini, kami seolah sudah meng-endorse salah satu dan sepertinya kami mendahului MK," kata Tito.
"Jadi apapun yang diputuskan MK, pemerintah pada prinsipnya adalah patuh. Tapi tidak mendahului," ia menambahkan.
Resistensi Tito dibalas dengan resistensi para anggota Komisi II DPR RI yang hampir seluruhnya bersikukuh bahwa narasi itu sudah tepat, dengan beragam dalih. Para anggota Komisi II lalu saling menyahut, bersikeras bahwa poin itu harus disepakati guna menenangkan kondisi di lapangan.
Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa dari fraksi Nasdem mengeklaim, akibat pernyataan Hasyim, banyak bakal calon legislatif di akar rumput menunda rencana mereka menyosialisasikan diri.
Akibatnya, tak sedikit partai politik, kata Saan, yang kesulitan menjaring caleg.
Perdebatan alot ini bikin Rapat Kerja molor 2 jam. Kesepakatan baru terbit ketika muncul alternatif agar dibuat poin kesimpulan baru yang pada intinya menyatakan KPU tegas mendukung Pemilu 2024 mengacu pada UU Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka.
Sumber (https://nasional.kompas.com)
0 komentar:
Posting Komentar