Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin penyelamat bangsa (Gambar by bantennews.co.id) |
IndoNewz.com - Jika menyebutkan siapa saja tokoh yang pernah menjadi Presiden Indonesia, banyak yang akan menyebut Ir. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH. Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Poetri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo.
Namun ada satu nama yang terlupakan, yakni Sjafruddin Prawiranegara. Beliau pernah menjadi Presiden Indonesia untuk jangka waktu 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949. Kala itu tanggal 19 Desember 1948, Belanda menggempur ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta dan kota Bukit Tinggi yang akan menjadi ibu kota bila Yogyakarta lumpuh.
Dalam keadaan darurat itu, maka dilangsungkan sidang kabinet yang menghasilkan dua keputusan. Pertama, Soekarno dan Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski ada resiko penangkapan. Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat.
Mandat Presiden Soekarno untuk Sjafruddin Prawiranegara (Foto by instagram @ryaanrenee) |
Setelah mendapat mandat tersebut, tanggal 22 Desember 1948 didirikanlah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Sjafruddin sebagai pemimpinnya. Dalam memimpin ia dibantu oleh anggota kabinet, seperti Teuku Mohammad Hassan sebagai Wakil Ketua PDRI yang merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama, Sutan Mohammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda, Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman, Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan, Ir. Indracaya sebagai Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran, dan Jenderal Sudirman tetap menjadi Panglima Besar Angkatan Perang.
Sehari setelah mendeklarasikan PDRI, Sjafruddin Prawiranegara berpidato melalui radio untuk menunjukkan bahwa Negara Indonesia masih ada dan berdiri. Berikut adalah pidato yang disampaikan olehnya.
"Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.
Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti!
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh!"
Pidato tersebut ternyata mampu ditangkap oleh stasiun radio Singapura dan juga disadap oleh radio Belanda di Riau. Sejak saat itu, semua tokoh-tokoh PDRI harus bergerak secara sembunyi-sembunyi dan melakukan penyamaran untuk menghindari serangan Belanda.
Pada pertengahan 1949, agresi besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda mendapat kecaman dunia internasional yang membuat keadaan mereka semakin terjepit. Belanda pun akhirnya melakukan perundingan dengan Soekarno - Hatta yang masih berstatus tawanan. Perundingan itupun menghasilkan Perjanjian Roem-Royen.
Usai perjanjian, Sjafruddin mengembalikan kembali pemerintahan kepada Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949. Setelahnya beliau menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI pada tahun 1949 dan Menteri Keuangan antara tahun 1949 - 1950.
Dalam Kabinet Hatta, Sjafruddin menjabat sebagai Menteri Keuangan. Pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Sjafruddin.
Sjafruddin kemudian menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama, pada tahun 1951. Sebelumnya ia adalah Presiden Direktur Javasche Bank yang terakhir, yang kemudian diubah menjadi Bank Sentral Indonesia.
Sumber : news.liputan6.com
Tag : sjafruddin prawiranegara, pemerintahan darurat republik indonesia, agresi militer belanda di indonesia, soekarno hatta, indonewz, indonewz.com
0 komentar:
Posting Komentar